Ketika ‘musibah’ menghampiri diri, maka katakanlah kepada jiwa kita : “Wahai jiwa, Tuhan lebih mengetahui apa yang berhak kau dapat. Kalau engkau tidak menerima dengan baik ketentuan dan takdir yang dipilih-Nya untukmu, aku takkan peduli dengan keinginan dan hasratmu. Musibah yang menimpaku ini menyimpan berbagai hikmah berupa : tebusan atas kesalahan yang mestinya diganjar dengan azab yang lebih besar, ujian untuk mengangkat derajatku sehingga lebih dekat kepada-Nya, perlindungan agar aku terhindar dari dosa, alat untuk memalingkan dari kelalaian, [dan] atau hukuman akhirat yang disegerakan agar aku tak lagi disiksa disana. Jadi, semua mengandung kebaikan.”
Orang bijak tentu menyikapi musibah dengan indah. Ia akan berkata, “Ini adalah kehendak-Nya pasti lebih mulia daripada kehendakku serta lebih agung dalam hatiku daripada jiwa dan segenap anggota tubuhku.”
Allahumma sholli ala Muhammad wa ali Muhammad.
Diambil dari “The Wisdom Of Al-Hakim Al-Tirmidzi. Olah Jiwa Untuk Meraih Takwa”
Meneyerahkan Segala Urusan Hanya Kepada-Nya
Diantara ciri-ciri orang yang bersandar pada amalnya adalah berkurangnya Roja’ (pengharapan pada Rahmat Allah) pada saat terjadinya Zalal (keterpurukan, kejatuhan, tergelincir, futur) (Al Hikam, Syaikh Ibn ‘Atha’illah)
Sungguh setiap manusia harus berjuang melalui sekian banyak penghalang (hijab) dalam dirinya untuk semakin mendekat kepada Allah Ta’ala. Seorang sufi bernama Bawa Muhaiyaddeen yang berasal dari Sri Lanka dan mendedikasikan 15 tahun terakhir hidupnya di Amerika Serikat bahkan menyebutkan secara detil bahwa jumlah penghalang dalam diri manusia yang diidentifikasikan sebagai evil qualities terbentang sebanyak empat ratus triliun sepuluh ribu di dalam hati kita. Dalam salah satu nasihatnya tentang qurban, beliau berkata:
“Qurban is not (only about) slaughtering chickens and cows and goats. There are four hundred trillion, ten thousand beasts here in the heart which must be slaughtered. They must be slaughtered in the qalb (innermost heart)”
Maka sebenarnya adalah suatu keniscayaan bila kita jatuh bangun dan kerap tergelincir dalam menghadapi sekian banyak tantangan dalam diri kita yang berupa amarah, takut, malas, prasangka buruk, cemburu, sombong, pamrih, minder, gelisah, syahwat seksual, boros, kikir dsb. Karena manusia adalah makhluk yang lemah dan tak berdaya.
“…dan manusia dijadikan bersifat lemah”
(Q.S. Annisa; 28)
Menghadapi hal itu semua, Syaikh Ibn ‘Atha’illah berpesan agar dalam situasi apapun, jangan sampai pengharapan kita pada Allah Ta’ala (roja’) menjadi lemah. Salah satu penyebabnya adalah karena kita terlampau cenderung mengandalkan amal-amal dan daya upaya kita dibandingkan dengan kuasa dan karunia-Nya. Atau secara tidak sadar menjadikan segala sesuatu selain Dia menjadi sasaran harapan kita.
Manakala sedang terlilit kesulitan ekonomi umumnya respon manusia akan langsung berpikir mencari solusi dari teman, saudara dan pinjaman bank dibanding dengan melaporkan dulu kesulitan kita kepada Allah Ta’ala. Saat sedang dirundung duka dalam hubungan pribadi atau keluarga, maka kebanyakan akan cenderung mencurahkan perasaan hatinya pada teman dekat sepuas-puasnya dibanding dengan curhat dulu kepada Allah Yang Maha Mendengar. Ketika bala bencana kehidupan datang menerjang maka sasaran keluh kesah dan harapan kita seringkali pada orang-orang yang kita anggap akan membantu melapangkan urusan kita dibandingkan dengan terlebih dahulu memasrahkan urusan itu kepada Dia Yang Maha Kuasa.
Tentu saja bukan berarti kita tidak boleh melakukan semua ikhtiar itu. Tapi hendaknya jadikan Allah Ta’ala sebagai ‘sahabat terdekat’, tempat kita pertama kali melaporkan masalah kita, mencurahkan kepedihan dan kegelisahan hati kita serta memasrahkan apapun kesulitan yang kita hadapi. Sungguh, ini adalah permasalahan tauhid yang mendasar! Suatu etika bagi mereka yang ingin mengesakan Dia.
Sehingga dengan menapaki setiap permasalahan hidup, hati kita menjadi senantiasa menghadap kepada-Nya, intim dengan-Nya dan bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Adapun setelah itu, maka kita berikhtiar dengan menghubungi teman, meminta tolong handai taulan, mencari jawaban pada ulama dsb. Semata-mata sebagai upaya dalam mencari solusi dan pertolongan yang Allah turunkan melalui segenap ciptaan-Nya. Dengan cara ini, hati kita akan senantiasa memandang ‘wajah’-Nya.
Inilah ciri manusia yang kuat tauhidnya, yaitu mereka sebelum melakukan ikhtiar maka ia terlebih dahulu kontak kepada Tuhan-nya Yang Maha Kuasa membukakan setiap jalan untuknya. Karena memang pada hakikatnya hanya Dia yang mampu melapangkan jalan di setiap kesempitan hidup.
“Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia…” (QS Al An’aam [6]: 17)
Rasulullah saw pun menyampaikan pesan yang sama dalam menghadapi ujian kehidupan:
“Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, niscaya Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia.”
Kita semua tengah menghadapi masalah dan ujian dalam hidup yang seringkali membuat kita sakit kepala dan kadang putus asa. Padahal sesungguhnya ini semua adalah karunia dari Allah Ta’ala, karena sifat manusia akan cenderung lari dari Allah Ta’ala jika hidupnya sepi dari ujian. Padahal kunci untuk menghadapinya terletak di dalam diri kita sendiri, yaitu dengan menggantungkan hati dan berpengharapan penuh hanya kepada-Nya.
“Tak seorang hamba pun yang turun padanya cobaan, lalu bergantung pada makhluk bukan padaKu, melainkan Aku memutuskan anugerah-anugerah langit dari tangannya dan Aku bebankan masalahnya pada dirinya.” (Hadits Qudsi)
Yahya bin Mu’adz ra ditanya:
“Kapankah seseorang itu disebut bergantung kepada Allah Swt?”
“Ketika seseorang itu putus hatinya dari ketergantungan dengan segalanya, apakah ia punya maupun tidak, serta ia pun ridlo kepada Allah Ta’ala sebagai wakil (tempat berserahnya),” jawabnya.
Mari kita serahkan sekecil apapun urusan dalam hati kita kepada-Nya…
Semoga Allah Ta’ala melimpahkan pertolongan dan rahmat-Nya kepada kita semua. Aamiin.
Kaidah-Kaidah Musibah
Kaidah Pertama, adanya perubahan, perpindahan, dan pergantian keadaan.
Allah menakdirkan dua hal berlawanan. Apabila sesuatu telah sampai pada batasnya, ia akan berubah menjadi kebalikannya. Apabila malam sudah mengambil bagiannya dan telah menghabiskan perjalanannya, ia akan disusul sang fajar. Ini aturan baku dan tidak bisa diubah sampai kapan pun. Apabila siang sudah menghabiskan waktunya yang telah ditentukan, ia akan digantikan malam. Siang dan malam mempunyai waktu dan batasan masing-masing.
Aturan ini berlaku pula pada hitungan jam, hari, bulan, tahun, musim-musim dalam setahun, waktu berbuah, wakt panen, beban yang harus ditanggung, kesehatan, sakit, kepemilikan, kekayaan, kemiskinan, kesempitan, kelapangan, kesenangan, kesedihan, perjumpaan, perpisahan, kecintaan, kebencian, kemuliaan, kehinaan, kekayaan, kekurangan, kemenangan, kekalahan, keberhasilan, kegagalan dan sifat-sifat serta keadaan-keadaan lainnya. Itulah yang dikehendaki Allah bagi kehidupan dunia ini. Itulah ketetapan-Nya bagi semua makhluk-Nya. Pergantian dan perputaran keadaan akan senantiasa ada selama roda dunia masih berputar.
Dari realitas tersebut, kita dapat mengambil hikmah bahwa kesempitan di dunia tidak ada yang abadi. Cepat atau lambat ia pasti berlalu dan digantikan kelapangan. Kesulitan pasti digantikan kemudahan. Sebab jika tidak, hal itu akan mengurangi nilai kekuasaan Yang Mahakuasa, bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Yang Mahakuasa, dan berlawanan dengan kehendak Yang Maha Mengetahui. Tidak mungkin ada sesuatu yang bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan-Nya atau berlawanan dengan kehendak-Nya. Tidak akan ada perubahan dan penyimpangan pada ketetapan Allah.
Kaidah Kedua, semua kesulitan pada mulanya besar, kemudian akan mengecil. Kepanikan yang ditimbulkan tidak akan berlangsung lama, benturan dan tekanan yang dimunculkan terjadi pada awalnya saja. Lalu mengerut, mengecil dan akhirnya menghilang. Seperti luka yang menganga dan menebarkan rasa nyeri pada awalnya, secara pelan tapi pasti rasa nyeri itu berkurang, kemudian hilang sama sekali dan akhirnya sembuh.
Kita harus sabar pada benturan pertama supaya kita beroleh pahala. Kesenangan membuat kita bersukacita dan datangnya musibah secara mendadak membuat kita terkejut. Sabar pada benturan pertama merupakan ciri khas orang mulia.
Ketika kita ditimpa musibah, jangan mengira bahwa kita akan menderita seterusnya. Tertimpa musibah memang menyakitkan, tetapi tidak akan selamanya demikian. Musibah itu seperti tamu. Ia pasti akan meninggalkan kita. Sedikit demi sedikit menjauh lalu menghilang sampai akhirnya benar-benar tidak kelihatan.
Salah satu kasih sayang dan kebaikan Allah adalah Dia memberi kita kekuatan jiwa agar siap menghadapi walaupun dengan susah payah, dan kesiapan untuk beradaptasi dengan berbagai kesulitan walaupun banyak mengeluh. Musibah tidak akan menghabisi kita seperti maut. Musibah diturunkan dengan tujuan menyucikan, menguji, memberi pelajaran, dan menghapuskan dosa.
Kaidah Ketiga, tanpa ada musibah kita tidak akan mengetahui nilai sebuah nikmat, ketenangan, dan kesehatan. Ketika tertimpa musibah akan merasakan betapa bernilainya dan betapa indahnya sebuah nikmat. Seandainya kita tidak pernah tertimpa musibah, kita tidak akan merasakan lezatnya nikmat. Kita akan merasa bosan. Semua nikmat yang kita dapatkan terasa hambar. Namun, begitu kita dibenturkan dengan sebuah musibah, kita akan menyadari dan mengingat hari-hari yang menyenangkan dan saat-saat yang menggembirakan. Dan pada saat benturan musibah itu berlalu, kita akan menghargai sebuah nikmat dengan mensyukurinya dan mengikatnya dengan ketaatan. Itulah yang dirasakan oleh orang-orang yang mengenal sunnah Allah dalam musibah.
Jika seseorang tidak pernah merasakan pahitnya sebuah penderitaan, engkau akan melihat hidupnya gelisah dan bingung, lantaran ia hanya menjalani satu kondisi yang statis dan membosankan. Berlama-lama dalam satu keadaan pasti akan memberatkan. Pergantian dari satu keadaan ke keadaan lainnya melahirkan satu kenikmatan, kegembiraan dan kesenangan tersendiri. Itu hanya bisa dirasakan orang-orang yang tertimpa musibah.
Abu Tamam bersyair:
Berbagai kesulitan yang membuat kamu sengsara,
Sejatinya menyadarkan kamu tentang arti kenikmatan.
Orang sehat tidak akan mengetahui arti kesehatan sebelum merasakan sakit. Orang bebas tidak akan menghargai nilai kebebasan sebelum dipenjara. Orang kenyang tidak akan merasakan lezatnya makanan sebelum merasa lapar. Dan orang yang tidak haus tidak akan mengetahui betapa berharganya air sebelum merasa dahaga. Kepada Allah-lah kita memohon pertolongan.
Kaidah Keempat, salah satu yang dapat meringankan musibah adalah menyadari bahwa beban musibah akan terus berkurang sedikit demi sedikit dan lama-lama akan menghilang lalu kembali ke kondisi normal. Setiap musibah ada batasnya. Jika orang yang tertimpa musibah mampu melewatinya satu hari saja, itu artinya beban di pundaknya berkurang. Sebuah musibah tidak akan berlangsung selamanya. Sebab waktu terus berjalan dan musibah ada batasnya.
Yahya ibn Khalid al-Barmaki menulis surat kepada Harun al-Rasyid dari penjara, “Ketahuilah, setiap jam yang berlalu meringankan penderitaanku dan mengurangi kenikmatanmu, hingga Allah Yang Mahaagung lagi Mahamulia mempertemukanku denganmu.” Itulah ucapan orang yang pintar dan bijaksana.
Orang yang ditimpa musibah hendaknya bergembira setiap kali melihat matahari terbenam, sebab satu dari penderitaan hilang. ‘Ammarah ibn Uqail mengatakan dalam syairnya,
Setiap hari berlalu sambil mengurangi penderitaanku.
Sebagaimana ia berlalu merenggut kenikmatanmu.
Kaidah Kelima, semua peristiwa terjadi atas pilihan Allah. Dia memilihnya berdasarkan kebijaksanaan-Nya. Setiap kebaikan atau keburukan yang ditetapkan oleh Allah bagi seorang muslim adalah pilihan terbaik baginya. Sampai-sampai Syekh al-Islam Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kemaksiatan yang telah ditetapkan Allah kepada seorang hamba sejatinya merupakan nikmat, asalkan segera ditaubati, disesali dan dimintakan ampunan. Jika musibah yang menimpa hamba merupakan kebaikan baginya, lalu mengapa ia mesti menghadapinya dengan perasaan tidak suka?
ketahuilah di balik setiap ujian yang menimpamu pasti ada hikmah dan rahasia kebaikan yang hanya diketahui oleh Allah. Engkau tidak diperintahkan mencari tahu rahasia tersebut. Itu urusan Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang. Kewajibanmu adalah menerima dan menyerahkan segalanya kepada Allah, itu saja. Apa yang dianggap baik oleh hamba belum tentu baik baginya, dan apa yang dianggap buruk olehnya juga belum tentu buruk baginya. Jika semua kebaikan dan keburukan dapat diketahui oleh seorang hamba, itu artinya ia mengetahui alam gaib, sanggup menyingkap rahasia takdir, mengetahui seluk beluk ketentuan Tuhan. Padahal semua itu hanya milik Allah Yang Maha Esa lagi Maha Tunggal.
Allah SWT berfirman, Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai (al Anbiya [21]:23)
Kaidah Keenam, apabila musibah telah mencapai puncaknya, giliran kemudhaan dan kelapangan datang. Itulah aturan yang telah Allah tetapkan untuk alam dan tidak akan pernah berubah. Pepatah mengatakan, “Jika kesulitan telah mencapai puncaknya, jalan keluar pasti datang.” Orang-orang Arab mengatakan, “Apabila kapasitasnya sudah penuh, maka keadaannya akan berbalik.”
Ketika seorang yang tertimpa musibah merasa penderitaannya sudah memuncak, ia pasti akan tersentak oleh kenyataan bahwa penderitaannya hilang dengan tiba-tiba. Sebab, Allah sama sekali tidak menurunkan ujian untuk selamanya. Segala sesuatu pasti mengalami perubahan dan kemusnahan, kecuali Zat Yang Maha Esa lagi Mahasuci.
Orang yang membaca sejarah akan tahu bahwa sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan akan kembali menjadi kekurangan dan akan berakhir dengan kesudahan. Kesenangan ataupun kesengsaraan sama saja.
Sunatullah telah menggariskan bahwa segala sesuatu yang telah mencapai puncaknya akan berubah kepada kebalikannya. Yang tidak akan pernah berubah dan berganti adalah sunatullah itu sendiri. Apabila kegelapan malam telah mencapai puncaknya, fajar akan datang menggantikannya. Apabila cahaya dan bentuk bulan telah mencapai kesempurnaannya, cahaya dan bentuknya akan kembali berkurang. Dem halnya dengan musibah. Apabila pahit getir dan rasa sakit yang ditimbulkan telah mencapai puncaknya, bergembiralah karena ia akan segera menghilang.
Kaidah Ketujuh, jika seorang hamba merasa segala upayanya telah menemui jalan buntu dan tidak punya harapan lagi, tibalah kelapangan dan kegembiraan.
Allah SWT berfirman, Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami (QS Yusuf [12]: 110)
Sebab, jika seorang hamba sudah tidak punya harapan lagi terhadap sesama manusia hingga timbul rasa putus asa dalam hatinya, sesuai dengan fitrah Allah di hatinya akan timbul harapan terhadap-Nya, itu pasti. Keinginan timbul dalam hatinya untuk kembali kepada-Nya dan bersujud dengan sepenuh hati, seraya mengakui segala kekurangan dan ketidakmampuannya, serta mengajukan segala harapan, permohonan dan asanya.
Allah SWT berfirman, “Atau siapakah yang memperkenalkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan.”
(QS An Naml [27]: 62)
Itulah rahasia tauhid, Allah akan menolongnya dengan kelapangan dan jalan keluar.
Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan hamba yang berharap kepada-Nya dan tidak akan menolak doanya. Itulah sunnah yang telah ditetapkan-Nya dan tidak akan berubah sampai kapan pun. Akan tetapi hal itu tidak berlaku bagi orang yang menyekutukan-Nya.
Apabila seorang hamba gagal mendapatkan bantuan dari sesama manusia dan sudah putus asa terhadap mereka, niscaya dalam hatinya timbul harapan kepada Tuhannya dan mengajukan permohonan kepada-Nya. Allah Yang Maha Esa pasti mengabulkan permohonannya, menghilangkan keburukan yang menimpanya, menyingkirkan kesedihan yang menyelimutinya, menggantikan kesempitannya dengan kelapangan, kedukaannya dengan kegembiraan, dan kesusahannya dengan kebahagiaan.
Jika engkau sudah merasa tidak punya harapan, ketahuilah bahwa kelapangan sudah ada di depan matamu, keberhasilan dan pertolongan segera tiba…
(Ibnu Qayyim al Jauziyyah. Hikmah al-Ibtila’)
Tanda-tanda Takut Kepada Allah
Takut kepada Allah adalah salah satu bentuk ibadah yang tidak terlalu diperhatikan oleh sebagian orang-orang mukmin, padahal itu menjadi dasar beribadah dengan benar. Firman Allah Ta’ala:
“Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kalian kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.(Ali ‘Imran 175).
Tanda-tanda takut kepada Allah:
1.Pada lisannya
Seseorang yang takut kepada Allah mempunyai kekhawatiran atau ketakutan sekiranya lisannya mengucapkan perkataan yang mendatangkan murka Allah. Sehingga dia menjaganya dari perkataan dusta, ghibah dan perkataan yang berlebih-lebihan dan tidak bermanfaat. Bahkan selalu berusaha agar lisannya senantiasa basah dan sibuk dengan berdzikir kepada Allah, dengan bacaan Al Qur’an, dan mudzakarah ilmu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, artinya: “Barangsiapa yang dapat menjaga (menjamin) untukku mulut dan kemaluannya, aku akan memberi jaminan kepadanya syurga”.(HR. Al Bukhari).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
“Tanda sempurnanya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu (perkataan) yang tidak berguna”.
(HR. At Tirmidzi).
Kemudian dalam riwayat lain disebutkan, artinya: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berbicara yang baik, atau (kalau tidak bisa) maka agar ia diam”.(HR. Al Bukhari dan Muslim).
Begitulah, sesungguhnya seseorang itu akan memetik hasil ucapan lisannya, maka hendaklah seorang mukmin itu takut dan benar-benar menjaga lisannya.
2.Pada perutnya
Orang mukmin yang baik tidak akan memasuk-kan makanan ke dalam perutnya kecuali dari yang halal, dan memakannya hanya terbatas pada kebutuhannya saja.
Firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain diantara kamu dengan jalan yang batil”.
(Al Baqarah: 188).
Ibnu Abbas menjelaskan, memakan dengan cara batil ini ada dua jalan yaitu; Pertama dengan cara zhalim seperti merampas, menipu, mencuri, dll. Dan Kedua dengan jalan permainan seperti berjudi, taruhan dan lainnya. Harta yang diperoleh dengan cara haram selamanya tidak akan menjadi baik/suci sekalipun diinfaqkan di jalan Allah. Sufyan Ats-Tsauri menjelaskan, “Barangsiapa menginfaq-kan harta haram (di jalan Allah) adalah seperti seseorang mencuci pakaiannya dengan air kencing, dan dosa itu tidak bisa dihapus kecuali dengan cara yang baik”. Bahkan dijelaskan dalam riwayat yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan, setiap jasad (daging) yang tumbuh dari harta haram maka neraka lebih pantas untuknya.
Jadi, itulah urgensi memperhatikan jalan mencari harta. Sudahkah kita takut kepada Allah dengan menjaga agar jangan sampai perut kita dimasuki harta yang diharamkan Allah ?
3. Pada tangannya
Orang mukmin yang takut kepada Allah akan menjaga tangannya agar jangan sampai dijulurkan kepada hal-hal yang diharamkan Allah seperti; (sengaja) menyentuh wanita yang bukan muhrim, berbuat zhalim, aniaya. Dan tidak bermain dengan alat-alat permainan syetan seperti alat perjudian.
Orang mukmin selalu menggunakan tangannya untuk melakukan ketaatan, seperti bershadaqah, menolong orang lain (dengan tangannya) karena dia takut di akhirat nanti tangannya akan berbicara di hadapan Allah tentang apa yang pernah dilakukan-nya, sedangkan anggota badannya yang lain menjadi saksi atasnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”.
(Yasin: 65).
Bahkan salah seorang ulama salaf berkata; “Sekiranya kulit saya ditempeli bara api yang panas, maka itu lebih aku sukai daripada saya harus menyentuh perempuan yang bukan muhrim”.
Itulah gambaran orang mukmin sejati yang takut kepada Allah di dalam menggunakan tangannya. Maka bagaimanakah dengan kita?
4. Pada penglihatannya
Penglihatan merupakan nikmat Allah Ta’ala yang amat besar, maka musuh Allah yaitu syetan tidak senang kalau nikmat ini digunakan sesuai kehendak-Nya. Orang yang takut kepada Allah selalu menjaga pandangannya dan merasa takut apabila memandang sesuatu yang diharamkan Allah, tidak memandang dunia dengan pandangan yang rakus namun me-mandangnya hanya untuk ibrah (pelajaran) semata.
Pandangan merupakan panah api yang dilepaskan oleh iblis dari busurnya, maka berbahagialah bagi siapa saja yang mampu menahannya. Allah berfirman:
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman; “Hendaklah mereka menahan pandangan-nya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.(An Nur: 30).
Jika kita teliti banyaknya kemaksiatan dan kemungkaran yang merajalela, seperti; perzinaan dan pemerkosaan, salah satu penyebabnya adalah ketidak mampuan seseorang menahan pandangannya. Sebab, sekali seseorang memandang, lebih dari sepuluh kali hati membayangkan. Maka, sudahkah kita menjadi orang yang takut kepada Allah dengan menahan pandangan kepada sesuatu yang diharamkanNya?
5.Pada pendengarannya
Ini perlu kita renungi bersama, sehingga seorang mukmin akan selalu menjaga pendengarannya untuk tidak mendengarkan sesuatu yang diharamkan Allah, seperti nyanyian yang mengundang birahi beserta irama musiknya, dll. Firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai tanggung jawabnya”.
(Al Israa’: 36).
Dan seorang mukmin akan menggunakan pendengarannya untuk hal-hal yang bermanfaat.
6. Pada kakinya
Seseorang yang takut kepada Allah akan melangkahkan kakinya ke arah ketaatan, seperti mendatangi shalat jama’ah, majlis ta’lim dan majlis dzikir. Dan takut untuk melangkahkan kakinya ke tempat-tempat maksiat serta menyesal bila terlanjur melakukannya karena ingat bahwa di hari kiamat kelak kaki akan berbicara di hadapan Allah, ke mana saja kaki melangkah, sedang bumi yang dipijaknya akan menjadi saksi.
Firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan”.
(Yaasin: 12).
Asbabun nuzul ayat ini adalah bahwa seorang dari Bani Salamah yang tinggal di pinggir Madinah (jauh dari masjid) merencanakan untuk pindah ke dekat masjid, maka turunlah ayat ini yang kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa bekas langkah (telapak) menuju masjid dicatat oleh Allah sebagai amal shaleh.
Semua bekas langkah kaki akan dicatat oleh Allah ke mana dilangkahkan, dan tidak ada yang tertinggal karena bumi yang diinjaknya akan mengabarkan kepada Allah tentang apa, kapan, dan di mana seseorang melakukan suatu perbuatan. Jika baik maka baiklah balasannya, tetapi jika buruk maka buruk pula balasannya. Ini semua tidak lepas dari kaki yang dilangkahkan, maka ke manakah kaki kita banyak dilangkahkan ?
7. Pada hatinya
Seorang mukmin akan selalu menjaga hatinya dengan selalu berzikir dan istighfar supaya hatinya tetap bersih, dan menjaganya dari racun-racun hati.
Seorang mukmin akan takut jika dalam hatinya muncul sifat jahat seperti buruk sangka, permusuhan, kebencian, hasad dan lain sebagainya kepada mukmin yang lain. Karena itu semua telah dilarang Allah dan RasulNya dalam rangka menjaga kesucian hati. Hati adalah penentu, apabila ia baik maka akan baik seluruh anggota tubuh, tetapi apabila ia jelek maka akan jeleklah semuanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ketahuilah bahwa dalam jasad ini ada segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila ia jelek maka jeleklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.
(HR. Riwayat Al Bukhari dan Muslim).
Maka pernahkah kita merasa takut bila hati kita menjadi gelap? Bahkan kita selalu merasa bahwa hati kita sama sekali tidak ada kejelekannya? Naudzubillah. Dari ini semua sudahkah kita termasuk orang yang takut kepada Allah ?.
Maraji’: Tazkiyatun Nafs, Ibnu Rajab Al Hambali dan Ibnu Qayyim.
Ketika Allah Menguji Hambanya
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita bahwa dulu di kalangan Bani Israil ada tiga orang: belang (sopak), botak, dan buta. Allah Subhaanahu wa Ta’ala hendak menguji mereka, maka Allah mengutus seorang malaikat untuk datang kepada orang yang belang (sopak), lalu bertanya kepadanya: “Apakah yang anda inginkan?”
“Warna yang bagus dan kulit yang baik,” jawab orang itu. “Sebab, kini aku telah dijauhi orang.”
Maka diusaplah badan orang itu oleh malaikat itu, sehingga dengan izin Allah hilanglah penyakitnya dan kulitnya berubah menjadi sangat bagus dengan warna yang indah.
Lalu orang itu ditanya lagi, “Harta kekayaan apakah yang engkau inginkan?”
“Onta,” jawabnya.
Maka diberinya onta betina yang sedang bunting sambil didoakan semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberkahinya.
Setelah itu, malaikat tersebut mendatangi orang yang botak dan bertanya, “Apakah gerangan yang anda inginkan?”
“Rambut yang bagus,” jawabnya dengan mantap. “Dan hilangkan botakku ini, sebab orang selalu mengejekku.”
Lalu malikat itu mengusap kepalanya dan dengan izin Allah botaknya langsung hilang dan rambutnya tumbuh kembali dengan cukup bagus. Orang itu kemudian ditanya, “Kini harta kekayaan apa yang anda inginkan?”
“Sapi,” jawabnya.
Orang itu kemudian diberi sapi betina yang sedang bunting sambil didoakan semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberkatinya.
Dan terakhir, malaikat datang pada orang yang buta dan bertanya, “Apakah yang anda inginkan?”
“Aku ingin sekiranya Allah mengembalikan penglihatan mataku, supaya aku dapat melihat segala sesuatu,” jawabnya meminta. Maka diusaplah kedua matanya oleh malaikat itu, dan dengan izin Allah seketika itu pula ia dapat melihat kembali.
“Sekarang harta kekayaan apa yang engkau inginkan?”
“Kambing,” jawabnya.
Ia kemudian diberi kambing betina yang sedang bunting.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan, serta tahun pun berganti tahun. Seiring itu pula hewan-hewan ternak ketiga orang itu bertambah banyak. Hingga akhirnya masing-masing telah memiliki satu lembah onta, satu lembah sapi, dan satu lembah kambing.
Malaikat itu kemudian kembali datang pada orang yang dulunya belang (sopak). Kedatangannya kali ini sengaja menyamar seperti bentuk rupa orang itu ketika masih belang dulu. Setelah sampai di tempat orang itu, ia berkata, “Saya ini orang miskin yang tengah putus perjalanan dan kehilangan kontak. Maka tiada yang dapat menyampaikan aku pada tujuan, kecuali pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta’ala kemudian bantuanmu. Aku mohon padamu, demi Allah yang memberimu warna dan kulit yang bagus serta kekayaan, agar memberiku satu onta untuk menyampaikan aku pada tujuanku bepergian ini.”
Mendengar ucapan yang demikian, orang itu kemudian menjawab: “Hak-hak orang lain masih banyak.”
“Aku seperti kenal denganmu,” sahut malaikat itu, “Tidakkah anda dulu belang, dibenci orang, lagi miskin, setelah itu anda diberi kekayaan oleh Allah?”
“Sungguh aku mewarisi harta kekayaan ini dari orang tuaku,” jawabnya membantah.
“Jika anda berdusta, semoga Allah mengembalikan anda pada keadaan yang dulu,” kata malaikat.
Setelah itu, malaikat tersebut datang pada orang yang dahulunya botak dengan menyamar menyerupai bentuknya ketika masih botak. Saat tiba di tempat orang itu, malaikat berkata padanya sebagaimana yang dikatakan pada orang pertama tadi. Ternyata jawabannya sama saja dengan orang sopak tadi, sehingga malaikat mendoakan pula, “Jika engkau berdusta, semoga Allah mengembalikan engkau pada keadaanmu dahulu.”
Terakhir, malaikat itu datang pada orang yang dulunya buta. Ia berkata, “Seorang miskin yang dalam perjalanan telah putus hubungan. Maka aku takkan dapat sampai pada tujuanku kecuali dengan pertolongan Allah melalui perantaraan bantuanmu. Aku mohon demi Allah, Dia-lah yang telah mengembalikan penglihatanmu dan memberimu kekayaan, oleh karena itu berilah aku seekor kambing untuk bekal yang dapat mengantar aku sampai pada tujuanku.”
“Benar,” jawab orang itu, “Dahulu aku buta, kemudian Allah mengembalikan penglihatanku, dan miskin, lalu Allah memberiku harta kekayaan. Karena itu, sekarang ambillah sesukamu. Demi Allah, aku takkan keberatan dengan sesuatu yang engkau ambil karena Allah.”
Maka malaikat pun berkata: “Tahanlah hartamu. Kamu bertiga sebenarnya sedang diuji oleh Allah. Maka Allah pun ridha padamu dan murka pada dua orang teman itu.”
(HR Bukhari & Muslim).
Oleh karena itu, dapatlah dimengerti bahwa kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan lain sebagainya merupakan ujian dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Banyak orang yang berhasil melewati ujian ketika ia sakit, miskin, dan sebagainya. Namun, amatlah sedikit orang yang berhasil melewati ujian dalam keadaan sehat, kaya, dan sejahtera, tinggi jabatan dan kedudukan. Kecuali hamba-hamba Allah yang beriman dan bertakwa kepada-Nya.
◄◄●════════◄●►════════●►►
Tidak ada komentar:
Posting Komentar